Alat Bukti Pidana: Fungsi Dan Tata Cara Penggunaannya – Dalam KUHAP, ada konsep yang disebut pemaksaan. Upaya paksa adalah segala jenis kegiatan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan seseorang untuk bergerak atau memiliki dan menguasai suatu benda, atau terhadap kebebasan pribadinya untuk menghindari gangguan.[1] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) memuat beberapa jenis tindakan wajib, yaitu penangkapan, penahanan, penyidikan, penahanan, dan penelitian dokumen. Dalam tulisan ini upaya paksa yang akan dibahas adalah penangkapan. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP dikatakan:
āPenangkapan adalah tindakan penyidik āāberupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam perkara dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Alat Bukti Pidana: Fungsi Dan Tata Cara Penggunaannya

Tujuan penangkapan secara jelas ditentukan dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP, yaitu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Selain itu, mengenai syarat-syarat penahanan diatur dalam Pasal 17 KUHAP yang berbunyi:
Kapan Penegak Hukum Dapat Melakukan Penahanan?
Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat ditangkap terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan dakwaan ini didasarkan pada bukti-bukti asli yang cukup.[2] Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, frasa āalat bukti yang cukupā harus dimaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) ) barang bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP dan yang menyertai penyidikan terhadap tersangka. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dikatakan:
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ābukti asli yang cukupā dalam Pasal 17 KUHAP adalah alat bukti yang dibuat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sekurang-kurangnya 2 (dua) buah. dijelaskan di atas dan dengan penyelidikan terhadap tersangka. Selain itu, penafsiran Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP, pihak yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik āāatas perintah penyidik, penyidik, dan penyidik āāpembantu.
Selain itu, batas waktu penahanan diatur dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penahanan dapat diatur paling lama 1 (satu) hari. Apabila mereka ditangkap setelah 1 (satu) hari, maka hukum telah dilanggar yang menyebabkan tersangka dibebaskan menurut hukum.[3]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan penangkapan adalah untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Penangkapan harus dilakukan berdasarkan Pasal 17 KUHAP, yaitu dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan dakwaannya didasarkan pada bukti-bukti asli yang cukup. Juga mereka tidak dapat ditangkap lebih dari satu hari.
Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan
[1] Utiarahman Andre Putra, Upaya Paksa Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimen, Volume VIII – Nomor 10, Oktober 2020, halaman 24. Pengakuan adalah proses penggunaan alat bukti, yang diajukan atau dibela dalam hukum acara yang relevan. [1] Tujuan sidang adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitif, pasti, tidak dapat dibantah dan mempunyai akibat hukum.[2] Putusannya adalah memberikan alasan yang cukup kepada hakim yang menyelidiki perkara itu untuk memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[3] Dalam pembuktian suatu peristiwa, metode yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat bukti. Bukti adalah sesuatu yang membuktikan kebenaran suatu argumen atau pendirian.[4]
Perkembangan teknologi dan informasi saat ini telah menimbulkan berbagai permasalahan hukum khususnya dalam transaksi elektronik. Salah satu permasalahan hukum yang muncul adalah apakah alat bukti elektronik yang diajukan oleh penggugat atau tertuduh tunduk pada hukum acara perdata dan kekuatan pembuktian dari alat bukti elektronik tersebut.
(RBG).[5] Baik HIR maupun RBG tidak secara langsung mengatur atau mengklasifikasikan bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti di muka pengadilan. Bukti elektronik kemudian secara khusus diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU AGA).[6] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU AGA menyatakan sebagai berikut:

(2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpanjangan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Infografis Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Pidana Secara Elektronik
Dari pengertian di atas, UU AGA dengan jelas menyatakan bahwa Informasi dan Dokumen Elektronik merupakan alat bukti yang sah dan memperluas alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang telah ada di Indonesia, sehingga dapat dijadikan alat bukti di pengadilan.[7] ] Untuk menjadi alat bukti yang sah, Informasi dan Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat formal dan substantif. Persyaratan formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU AGA sebagai berikut:
Dalam hal terdapat ketentuan selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa informasi tersebut harus dalam bentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses. . , disajikan, dijamin kelengkapannya, dan dapat dideskripsikan untuk menggambarkan suatu situasi.
ā(1) Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara handal dan aman serta bertanggung jawab atas terselenggaranya sistem elektronik dengan baik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila terbukti telah terjadi force majeure, kesalahan dan/atau kelalaian pengguna sistem elektronik.
Perbedaan Barang Bukti Dan Alat Bukti
Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan dasar sebagai berikut:
A. dapat menampilkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara lengkap sesuai dengan masa retensi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
D. memiliki prosedur atau petunjuk yang dituangkan dalam bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang terlibat dalam pengoperasian sistem elektronik; Dan

Dapat disimpulkan bahwa pembuktian alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU AGA. Alat bukti tersebut kemudian harus memenuhi syarat substantif dan formal untuk menjadi alat bukti yang sah. Alat bukti elektronik dapat digunakan dalam hukum organisasi perdata berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU AGA. Ada beberapa alat bukti yang dapat dijadikan dasar pembuktian pada tingkat perkara pengadilan yang diadakan untuk mencari kebenaran yang relevan. Pembuktian hukum dalam sistem peradilan pidana sudah jelas diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahkan tidak dapat dijadikan alat bukti dalam tindak pidana apapun, karena KUHAP mencakup semua tindak pidana. Namun tentunya ada alat bukti lain yang bisa dijadikan bukti, yakni rekaman audio dalam kasus korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan standar dan kekuatan rekaman audio sebagai alat bukti dalam kasus korupsi.
Kedudukan Ahli Dalam Hukum Acara Perdata
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum konvensional, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti literatur atau data sekunder dengan menggunakan metode perundang-undangan dan konseptual.
Hasil penyidikan menunjukkan bahwa susunan rekaman audio yang digunakan sebagai barang bukti dalam perkara ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pencabutan TIPIKOR, UU No 11 Tahun 2008 tentang AGA, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Standar rekaman audio sebagai alat bukti dalam sidang TIPIKOR hanyalah rekaman yang dibuat oleh KPK dengan cara penyadapan, dan rekaman audio yang diperoleh hanya dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang harus dijelaskan dengan alat bukti pendukung lainnya kepada masyarakat atau pihak di luar KPK. . sehingga dapat dikatakan cukup bukti untuk membuktikan tuduhan korupsi.
Mansyur, M., & Manurung, R.A.P. (2017). ALAT BUKTI REKAMAN SUARA DALAM KOMITMEN KEGIATAN PIDANA CERDAS. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 3(1), 105ā116. https://doi.org/10.23887/jkh.v3i1.9246 Kita sering mendengar atau membaca kata melapor, dicurigai, dituduh atau dituduh. Narasi, tersangka, terdakwa dan penjahat adalah hal yang berbeda. Apa perbedaan dari keempat hal tersebut?
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya menurut undang-undang kepada pejabat yang berwenang mengenai disangka atau dicurigai. menjadi peristiwa kriminal. Laporan itu dikirim ke polisi. Orang yang dilaporkan adalah orang yang dilaporkan dalam laporan.[1] Oleh karena itu, terlapor adalah seseorang yang dilaporkan melakukan tindak pidana atau diduga melakukan tindak pidana, tetapi belum tentu terlapor adalah orang yang melakukan tindak pidana tersebut.
Pdf) Kajian Hukum Pidana Indonesia Atas Penyalahgunaan Alat Bukti Visum Et Repertum Sebagai Sarana Untuk Melakukan Tindak Pidana Pemerasan
Orang yang dilaporkan bisa jadi tersangka, tapi belum tentu tersangka. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka adalah seseorang yang patut diduga melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kedudukannya, berdasarkan bukti-bukti yang asli. Menurut Yahya Harahap, alat bukti asli yang cukup mengacu pada tingkat minimal 2 (dua) alat bukti.[2] Lamintang kemudian juga mengemukakan pendapatnya bahwa alat bukti asli yang cukup harus diartikan sebagai alat bukti nyata berupa barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Yang dimaksud dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Chandra M. Hamzah berpendapat bahwa bukti asli yang cukup dapat berupa informasi yang diperoleh selama proses penyidikan, keterangan saksi selama proses penyidikan, keterangan ahli selama proses penyidikan, dan barang bukti selama proses penyidikan dan penyidikan.[3] Kemudian berdasarkan Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana), seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan didukung dengan bukti. Dengan demikian, tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang didukung dengan alat bukti.
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 KUHAP, tersangka adalah orang yang dituntut, diperiksa dan diadili di pengadilan. Tersangka dapat diidentifikasi
Apakah Anda pernah menonton film atau drama hukum dan merasa bingung dengan istilah-istilah seperti ‘alat bukti’? Atau mungkin Anda penasaran tentang bagaimana suatu kejahatan dapat dibuktikan di pengadilan? Jangan khawatir, Anda tidak sendirian. Untuk memahami dunia hukum, khususnya hukum pidana, memang memerlukan pemahaman tentang berbagai istilah dan prosedur. Nah, dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas mengenai ‘alat bukti pidana’, fungsi dan tata cara penggunaannya. Siap untuk menjadi detektif amatir? Yuk, lanjutkan membaca!
Alat bukti dalam hukum pidana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk meyakinkan hakim bahwa suatu kejahatan telah terjadi dan siapa pelakunya. Fungsi alat bukti sangat penting dalam proses peradilan. Tanpa alat bukti, bisa jadi suatu kasus hanya akan menjadi ‘katu-katuberkata’ tanpa bukti nyata. Jadi, apakah Anda tahu apa saja jenis-jenis alat bukti dalam hukum pidana dan bagaimana cara penggunaannya? Jika belum, inilah saatnya kita menjelajahi dunia hukum yang seru dan penuh misteri ini.
Dalam penjelasan ini, kita tidak hanya akan membahas jenis-jenis alat bukti, tetapi juga bagaimana alat bukti tersebut dapat digunakan dalam proses pengadilan. Kita akan membahas berbagai kasus dan contoh nyata untuk memperjelas pemahaman Anda. Jadi, siapkah Anda untuk menyelam lebih dalam ke dunia hukum pidana? Jika ya, jangan berhenti membaca dan lanjutkan hingga akhir!
Menyingkap Misteri Alat Bukti Pidana
Alat bukti pidana seringkali menjadi topik yang membingungkan bagi banyak orang. Namun, peranannya dalam hukum pidana tidak dapat diabaikan. Alat bukti pidana adalah segala sesuatu yang dapat membantu hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu kasus. Dalam kata lain, alat bukti pidana adalah fondasi dalam penegakan hukum.
Dalam dunia hukum, ada banyak jenis alat bukti pidana, mulai dari bukti petunjuk hingga bukti barang. Masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri dalam proses peradilan. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menyingkap misteri di balik masing-masing jenis alat bukti pidana ini.
Tentunya, memahami alat bukti pidana bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagaimana hukum pidana ditegakkan. Jadi, yuk kita mulai petualangan ini dan mengungkap misteri alat bukti pidana!
Berpacu dengan Fakta: Jenis-jenis Alat Bukti Pidana
Bukti Petunjuk
Bukti petunjuk adalah jenis alat bukti yang berfungsi untuk memberikan petunjuk atau arah kepada hakim tentang suatu kejadian. Contoh dari bukti petunjuk bisa berupa jejak kaki, sidik jari, atau bahkan DNA. Dalam kasus hukum, bukti petunjuk ini seringkali digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah terjadi.
Bukti Saksi
Bukti saksi adalah jenis alat bukti yang berasal dari keterangan seseorang yang menyaksikan langsung suatu kejadian. Saksi dapat memberikan keterangan tentang apa yang mereka lihat, dengar, atau alami selama kejadian tersebut. Dalam kasus hukum, bukti saksi ini seringkali digunakan untuk menunjukkan siapa pelaku kejahatan tersebut.
Bukti Surat
Bukti surat adalah jenis alat bukti yang berupa dokumen atau surat tertulis yang berkaitan dengan suatu kejadian. Surat ini dapat berfungsi untuk membuktikan suatu fakta atau peristiwa yang terjadi. Dalam kasus hukum, bukti surat ini seringkali digunakan untuk menunjukkan bukti konkret dari suatu kejahatan.
Peran Penting Alat Bukti Pidana dalam Penegakan Hukum
Alat bukti pidana memegang peran penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya alat bukti, sulit bagi hakim untuk membuat keputusan yang adil dan tepat. Alat bukti pidana memberikan gambaran jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi dan membantu hakim dalam membuat keputusan.
Dalam beberapa kasus, alat bukti pidana dapat menjadi penentu dalam suatu kasus. Misalnya, dalam kasus pembunuhan, bukti petunjuk berupa DNA dapat digunakan untuk menunjukkan siapa pelaku sebenarnya. Atau dalam kasus penipuan, bukti surat berupa kontrak atau dokumen penipuan dapat digunakan untuk membuktikan bahwa suatu kejahatan telah terjadi.
Jadi, peran alat bukti pidana dalam penegakan hukum tidak dapat dianggap remeh. Alat bukti pidana adalah fondasi dalam penegakan hukum dan merupakan bagian penting dari proses peradilan.
Mengurai Tata Cara Penggunaan Alat Bukti Pidana
Setiap alat bukti pidana memiliki tata cara penggunaannya sendiri dalam proses peradilan. Misalnya, bukti petunjuk harus diambil dan dianalisis oleh ahli forensik sebelum dapat digunakan dalam pengadilan. Sementara itu, bukti saksi harus disajikan di pengadilan dan saksi harus bersedia memberikan keterangan.
Dalam kasus bukti surat, surat tersebut harus diverifikasi dan autentik. Surat harus diperiksa oleh hakim untuk memastikan keasliannya sebelum dapat digunakan sebagai bukti dalam pengadilan. Dalam beberapa kasus, ahli forensik dokumen mungkin juga diperlukan untuk memastikan keaslian dokumen tersebut.
Jadi, penggunaan alat bukti pidana dalam proses peradilan bukanlah proses yang sederhana. Tetapi dengan pemahaman yang tepat tentang tata cara penggunaannya, kita dapat memastikan bahwa proses peradilan berjalan dengan adil dan benar.
Ringkasan dan Saran: Memahami Pentingnya Alat Bukti Pidana
Alat bukti pidana adalah elemen penting dalam hukum pidana. Mereka memberikan gambaran jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi dan membantu hakim dalam membuat keputusan. Tanpa alat bukti, sulit bagi hakim untuk menentukan apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab.
Untuk memahami alat bukti pidana, kita perlu mengetahui berbagai jenisnya, seperti bukti petunjuk, saksi, surat, keterangan terdakwa, dan barang. Masing-masing memiliki fungsi dan cara penggunaan yang unik dalam proses peradilan. Memahami alat bukti ini bukan hanya penting bagi para praktisi hukum, tapi juga bagi kita semua sebagai masyarakat.
Selain itu, alat bukti pidana juga memegang peran penting dalam penegakan hukum. Tanpa bukti yang cukup, proses hukum dapat menjadi rumit dan hasilnya mungkin tidak adil. Oleh karena itu, memahami alat bukti pidana dan tata cara penggunaannya adalah hal yang sangat penting.