Pasal
Memahami Pasal 285 Ayat 1 Dan Implikasi Hukumnya
Memahami Pasal 285 Ayat 1 Dan Implikasi Hukumnya – Konsep pemaksaan dikenal dalam KUHAP. Upaya pemaksaan adalah segala jenis tindakan yang dapat dilakukan oleh petugas penegak hukum terhadap kebebasan bergerak atau kepemilikan dan kontrol seseorang, atau terhadap kebebasan pribadinya untuk tetap diam.[1] Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 juncto Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), terdapat beberapa jenis tindakan wajib yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Dalam tulisan ini upaya pemaksaan yang dimaksud adalah penangkapan. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP dinyatakan:
āPenangkapan adalah perbuatan penyidik āāberupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka, yaitu terdakwa, apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan tentang hal itu dan dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang.ā
Memahami Pasal 285 Ayat 1 Dan Implikasi Hukumnya
Tujuan penangkapan dijelaskan secara jelas dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP, yaitu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Selain itu, dalam hal perampasan kemerdekaan diatur dalam Pasal 17 KUHAP yang berbunyi:
Implikasi Kasus Agni Terhadap Hukum Pidana, Fungsi Petisi Dan Perspektif Feminist Legal Theory
Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana dapat ditangkap dan tuntutan ini didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.[2] Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-KSII/2014 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 juncto KUHAP, maka ungkapan ābukti terdahulu yang cukupā harus dimaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) bagian . barang bukti yang dimuat dalam Pasal 184 KUHAP dan dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap tersangka. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan:
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ābukti permulaan yang cukupā dalam Pasal 17 KUHAP adalah minimal 2 (dua) alat bukti dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP. yang telah disajikan. diproduksi. dijelaskan di atas dan menyelidiki tersangka. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa surat perintah tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang, melainkan ditujukan kepada mereka yang benar-benar telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP, yang berwenang melakukan perampasan kemerdekaan adalah penyidik āāatas perintah penyidik, penyidik, dan pembantu penyidik.
Selain itu, penangkapan memiliki batas waktu yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa kehilangan kemerdekaan tidak boleh lebih dari 1 (satu) hari. Apabila penangkapan dilakukan setelah 1 (satu) hari, maka terjadi pelanggaran hukum yang mengakibatkan lepasnya tersangka dari hukum.[3]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tujuan penangkapan adalah untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Penangkapan harus dilakukan berdasarkan Pasal 17 KUHAP, yaitu dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, dan tuduhan itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Selain itu, penangkapan tidak dapat dilakukan lebih dari satu hari.
Miqot Vol. Xxxiii No. 2 Juli Desember 2008 By Miqot: Jurnal Ilmu Ilmu Keislaman
[1] Utiarahman Andre Putra, Upaya Tegas Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lek Pidana, Volume VIII – Nomor 10, Oktober 2020, halaman 24. Dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Selain itu, Pasal 2 UU Perkawinan menyatakan:
Namun kenyataannya banyak perkawinan dengan warga negara Indonesia (VNI) yang hanya memenuhi syarat agama berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sementara itu, syarat administrasi berdasarkan Pasal 2 ayat (2) belum terpenuhi karena perkawinan tersebut belum dicatatkan oleh buku nikah.[1] Jadi, apakah suatu perkawinan harus dicatatkan agar sah?
Pada dasarnya pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sahnya perkawinan, sehingga tidak mempengaruhi keabsahan status suami istri.[2] Hal ini didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan faktor yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pokok-pokok putusan memuat dalil untuk membuktikan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sejauh mana adanya. berarti pembubaran sipil. hubungan dengan laki-laki, yaitu ayah dalam hal ini.[3] Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pencatatan hanya merupakan kewajiban administratif yang mengukuhkan perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, keputusan tersebut menyatakan bahwa pentingnya kewajiban administratif yang diantisipasi adalah bahwa negara dapat menjamin perlindungan, pemajuan, pelaksanaan dan realisasi hak asasi manusia yang relevan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Namun perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan banyak akibat hukum yang meliputi akibat hukum terhadap hasil perkawinan seperti hak keperdataan, kewajiban pemeliharaan dan hak waris. Hal ini karena pencatatan perkawinan merupakan syarat formal sahnya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum hak keperdataan dan kewajiban hak pemeliharaan dan hak waris.[4]
Kesimpulannya, pendaftaran bukanlah syarat sahnya perkawinan di Indonesia. Catatan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan merupakan satu-satunya bukti nyata yang melindungi hak perkawinan. Oleh karena itu, meskipun pencatatan bukan merupakan syarat hukum, tetapi perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut.[1] Bahkan pelaksanaan pekerjaan nyata ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, melainkan hanya oleh pejabat tertentu yang mempunyai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 1868 KUH Perdata mendefinisikan surat yang sah sebagai suatu akta yang dibuat menurut bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta nyata antara lain adalah notaris atau pejabat tanah (selanjutnya disebut PPAT).
Pdf) Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Notaris dan PPAT sering disamakan oleh masyarakat karena kurangnya pemahaman akan perbedaan tersebut. Mungkin juga karena banyaknya pekerjaan untuk kedua profesi tersebut atau masyarakat menganggap notaris sama dengan PPAT. Walaupun notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berbeda satu sama lain dalam hal melakukan perbuatan yang sebenarnya. Selain notaris terkadang menjabat sebagai PPAT, hal ini tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Pernyataan ini tidak dapat dibandingkan dengan profesi hukum lainnya seperti pengacara, jaksa atau hakim, yang berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan yang mengikat profesi tersebut, tidak membolehkan praktek dua profesi sekaligus.
Perbedaan antara notaris dan PPAT akan dijelaskan dengan terlebih dahulu mengetahui apa peraturan perundang-undangan yang relevan untuk mengetahui profesi ini. Menurut Pasal 1 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UJN) menyatakan:
āNotaris adalah pejabat umum yang berwenang melakukan perbuatan nyata dan mempunyai wewenang lain yang ditentukan dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lain.
āNotaris berwenang membuat akta-akta yang sah sehubungan dengan segala akta, perjanjian, dan ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang hendak dinyatakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu akta yang sah, dengan menjamin kepastian tanggal pembuatan akta. . , kecuali akta, penyerahan bruto, salinan, dan petikan undang-undang, semua meskipun pembuatan undang-undang itu tidak dititipkan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditunjuk oleh undang-undang.
Majalah Scripta Edisi 3 Tahun 2020
Sementara itu, sesuai dengan Keputusan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Keputusan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Kitab Peraturan Menteri tentang Kedudukan Pejabat yang Melaksanakan Kegiatan Pertanahan, diberikan penjelasan sebagai berikut:
āPPAT adalah pejabat umum yang berwenang melakukan perbuatan nyata sehubungan dengan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah tinggal.ā
Berdasarkan pengertian Notaris dan PPAT sebenarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan penegasan dalam lingkup kewenangan Notaris dan PPAT. Notaris berwenang untuk melakukan perbuatan yang sah sehubungan dengan akta, kontrak dan/atau ketentuan lain yang menjamin kepastian proses hukum. Sedangkan PPAT berwenang membuat perbuatan nyata khusus untuk perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun.
Notaris dan PPAT pada hakekatnya merupakan profesi hukum yang berbeda, namun dapat memiliki kesamaan fungsi sesuai dengan ketentuan undang-undang. Hal ini berdasarkan penjelasan Pasal 17 ayat (1) huruf g UJN yang menyatakan bahwa notaris dilarang merangkap sebagai petugas penyiapan surat tanah dan/atau petugas lelang kelas II. di luar tempat duduk. notaris. Perlu diketahui bahwa aturan pengecualian dari pasal ini tidak dimaksudkan untuk mengecualikan Notaris dan PPAT dari jabatan yang sama, melainkan untuk mengecualikan Notaris yang mempunyai fungsi yang sama dengan PPAT untuk dikecualikan dari melakukan fungsi yang sama di luar tempat tinggal notaris. Artikel ini dapat diterjemahkan sebagai:
Pdf) Implikasi Yuridis Penetapan Hakim Berkaitan Diversi Yang Melanggar Ketentuan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Yaitu dengan menetapkan hal-hal tertentu untuk kejadian tertentu, sehingga peraturan yang diberlakukan bertentangan dengan kejadian di luar ketentuan undang-undang.[4] Jadi, melalui
Dapat diartikan bahwa seorang notaris dapat sekaligus menjalankan fungsinya sebagai PPAT selama berada dalam satu tempat tinggal dengan kantor notarisnya.
Yang membedakan kedua profesi hukum ini terletak pada landasan hukum dan organisasi yang berwenang mengangkat dan memberhentikan fungsi dari kedua profesi tersebut. Pengangkatan dan pemberhentian notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 November 1998, nomor C-537.HT.03.01-Th.1998.
[2] Bahwa PPAT diangkat oleh Menteri Pertanian dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Pertanian/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 2 Juni 1998 No. 8-KSI- 1998. terlibat
Law, Development & Justice Review Volume 2, Number 1 2019 By Law, Development & Justice Review
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa notaris dan PPAT merupakan dua profesi yang berbeda kewenangannya. Notaris berwenang untuk membuat akta sah dari semua tindakan, perjanjian dan keputusan yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau diwajibkan oleh pihak yang berkepentingan dan mengangkat/memberhentikan jabatan dan pengurusan yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. hak. Sedangkan PPAT memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan tersebut
