Memahami Pasal 385 Dan Dampak Hukumnya – Naskah Fakultas Hukum Universitas Surabaya diterima: 18 November 2019; Revisi: 10 April 2021; Diterima: 10 April 2021 DOI: 10.29123/jy.v14i1.423
Keputusan untuk mempublikasikan informasi elektronik yang melanggar kesopanan telah memicu kontroversi. Pengertian Pasal 11 Pasal 1 Ayat 1 Pasal 27 Ayat 1 Pasal 45 Pasal 1 Tahun 2008 sebagai unsur pokok pidana belum mendapat penjelasan secara menyeluruh. dari otoritas yang kompeten. pertanyaan. sidang tingkat pertama, kasasi dan pembukaan kembali. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: (i) pentingnya memahami frasa āpelanggaran aturanā dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan (2) metode penafsiran yang digunakan hakim untuk memahami frasa āpelanggaran kesopananā. Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frasa āpelanggaran hak asasi manusiaā dipahami hanya sebagai komponen verba yang dianggap lengkap jika menggunakan pemahaman aktivitas seksual secara sistematik dan gramatikal. āPelanggaran tata kramaā bertentangan dengan makna ungkapan sebagai bukti dan fungsi yang berguna, memaksa hakim untuk menemukan dan memanipulasi nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Standar kesopanan harus dilihat sebagai pemahaman tentang sifat fisik yang melanggar hukum dari tindakan transmisi elektronik yang melanggar kesopanan. informasi elektronik; melawan hukum fisika.
Memahami Pasal 385 Dan Dampak Hukumnya

Putusan MK dalam kasus pengungkapan elektronik melanggar putusan kontroversial tersebut. Pengertian āpelanggaran seremonialā sebagai delik yang ditentukan dalam Pasal 27(1) Pasal 11(1) Tahun 2008 No. 11 bersama dengan Pasal 45(1) belum mendapat penjelasan yang mendalam dalam warna Majelis. .
Memahami Hukum Pers By Tifa Foundation
Pada tingkat pertama, kasasi atau persidangan atas kasus tersebut. (1) hal-hal penting dibahas secara lebih rinci
Pengertian āomission of breachā dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik; dan (2) metode penafsiran yang digunakan hakim untuk memahami āpembiaran yang dilakukanā. Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengertian āpelanggaran untuk tidak melakukanā terbatas pada komponen pekerjaan yaitu.
Dalam pengertian ini, āpelanggaran disabilitasā merupakan ekspresi dari fakta dan fungsi instrumental yang mewajibkan hakim untuk mengakui dan mematuhi nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat. Standar kesopanan harus dilihat dengan cara yang benar memahami bahaya undang-undang konten dalam kaitannya dengan prosedur penyebaran elektronik yang melanggar protokol. Kata kunci: pelanggaran hukum; informasi elektronik; pelanggaran hukum dasar.
Kasus Paige Noril menarik perhatian publik sejak pertengahan 2017 hingga pertengahan 2019 (Arifana, 2019). Masalah penyebaran informasi elektronik dengan muatan tidak etis telah mendapatkan penyelesaian dengan kekuatan hukum tetap pada tanggal 4 Juli 2019. 83. Putusan PK/P.SUS/2019, menolak permintaan pengawasan atas permintaan tergugat. Hal yang paling menarik dari kasus ini adalah, kini sebagai Kepala Negara, ia telah mengampuni kasus tersebut berdasarkan permintaan grasi dari terdakwa. Putusan MA tersebut menimbulkan perdebatan tentang posisi hukum terdakwa dalam kasus tersebut. Terdakwa tidak dianggap sebagai pelaku, melainkan korban pelecehan seksual oleh atasannya (KompasTV, 2019). Berkaitan dengan hal tersebut perlu dipahami apakah putusan hakim tersebut sesuai dengan kenyataan hukum atau tidak, sebenarnya perlu merujuk pada ketentuan UU Bana yang dianggap sebagai dasar dakwaan. Jaksa Pasal 27 (1) jw. Pasal 45 Ayat 1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik 11 Tahun 2008 (UU ITE). Menarik untuk dicermati lebih jauh penggunaan ketentuan khusus UU Bana untuk memahami frase āpelanggaran protokolerā dalam Pasal 27(1) UU ITE. Hal yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah penafsiran frasa āpelanggaran seremonialā oleh majelis hakim tingkat pertama, kasasi dan pembukaan kembali (Putusan 265/P.Sus/2017/PN.AMA).
Pdf) Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pertanahan Di Indonesia
Ia memahami istilah ākesusilaanā dalam kaitannya dengan konsep ākesusilaanā yang terdapat dalam KUHP (Perdata Pengadilan Negeri Matram, 2017:29), namun tidak menjelaskan maksud dan ruang lingkup ākesantunanā. Ini menunjukkan bahwa para hakim masih memahami istilah “pelanggaran upacara”.
Ini terbatas pada makna ārelevansiā pada tataran subjek atau isi informasi. Para juri kasasi dan banding memiliki interpretasi yang berbeda tentang istilah “tidak senonoh” ketika menilai apakah itu ditunjukkan oleh perilaku tergugat atau pemohon peninjauan kembali. Berdasarkan pertimbangan ketiga hakim, nampaknya pengertian dari istilah āinfringing infringementā masih terbatas, dipahami sebatas apakah objek atau substansinya mengandung konten pelanggaran yang tidak pantas. Bahkan dengan mempertimbangkan putusan yang dibuat oleh hakim pada tingkat kasasi, dalam sidang ulang tidak dijelaskan dengan jelas apa yang dimaksud hakim dengan frasa āpelanggaran etika pelayanan publikā. Intinya, hal ini perlu ditelaah lebih lanjut karena kata-kata pana tindakan dalam Pasal 27 (1) ayat ITE harus mencakup rangkaian tindakan yang tidak terbatas pada benda atau materi, tetapi terkait dengan tindakan tersebut. itu sendiri adalah ilegal untuk tindakan. Rumusan UU Pana serupa dengan rumusan Pasal 27(1) UU ITE dan Pasal 282(1) KUHP. Kesamaan dengan ekspresi kata kerja Ban Na ditemukan dalam penggunaan frasa “pelanggaran protokol” (
(MVT). Di satu sisi, bentuk formula ini meningkatkan ambiguitas analogi yang digunakan untuk mengevaluasi pelanggaran kesopanan. Kondisi ini tentu bertentangan dengan asas hukum akal sehat

Pernyataan tindakan individu tidak boleh ditafsirkan terlalu luas dan terlalu ambigu. Remmelink (2003: 90-91) menjelaskan keberadaan formula ini dari segi terminologi sebagai strategi pembentukan undang-undang untuk mengakomodasi berbagai bentuk pelanggaran etika yang tidak dapat didefinisikan satu per satu. Dalam upaya untuk menggembar-gemborkan ambiguitas makna frasa “penghinaan terhadap kesusilaan”, hakim mempersonifikasikan frasa tersebut sebagai tindakan yang melanggar standar kesopanan (
Tugas 2 Pengantar Ilmu Hukum
Berdasarkan pemahaman ini, penting bagi hakim untuk menafsirkan kata-kata tindakan Bana, khususnya frasa “pelanggaran protokol” dalam kaitannya dengan masalah protokoler. Apalagi jika menganggap bahwa hakim memiliki kewajiban untuk mengetahui, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. Yudikatif/Peradilan), sekalipun itu pemahaman mereka. masih belum jelas (Jamin, 2020: 5102-5104). Pengertian ini erat kaitannya dengan rasa malu terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan dan dikenal dengan perbuatan melanggar hukum. Pemahaman tentang sifat melawan hukum fisika dalam Pasal 27(1) KUHP menjadi semakin menarik untuk dikaji, khususnya terkait dengan kasus Bayaq Nuril. Yang perlu diperhatikan oleh hakim lebih lanjut terkait putusan dalam kasus ini digarisbawahi oleh dua hal: Ferry dan Fairman adalah teman dekat (bukan kerabat) karena rumah mereka berdekatan. Dan suatu hari, Firman dibawa ke kota lain. Jadi rumah Ferman sudah lama kosong. Karena rumah Ferman terbengkalai, terutama halaman depan, bagian samping dan belakang rumahnya menjadi sangat padat hingga hampir menutupi seluruh rumah Ferman. Ferry yang awalnya kesal dengan kondisi rumah Ferman, akhirnya memutuskan untuk membersihkan halaman depan dan belakang rumah Ferman.
1. Menganalisis tindakan yang dilakukan oleh Ferry dan apa akibat dari tindakan tersebut. Penjelasan hukum! 2. Periksa apakah Anda berada di bawah hukum atau tidak, dari isi kasus di atas dan keabsahannya! 3. Banyak Fakultas Hukum yang populer di Fakultas Hukum, salah satunya adalah aliran positivis, tolong jelaskan dan hubungkan kasus di atas!
Aksi Ferry membersihkan halaman depan, halaman samping, dan halaman belakang rumah Ferman yang kosong dan berantakan. Karya ini dapat dikatakan karya yang baik karena membantu menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan
Sekitar Namun, dalam hukum afirmatif, suatu perbuatan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak milik suatu kata karena frase itu melakukan suatu perbuatan tanpa seizin atau persetujuan pemiliknya. Menurut Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), barang siapa merusak atau merampas harta milik orang lain tanpa izin atau persetujuan dapat dipidana empat tahun penjara atau denda Rp9 juta. Namun, ada pengecualian dalam Pasal 388 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan dilakukan untuk kebaikan dan dalam keadaan darurat, maka perbuatan itu dianggap sah. Misalnya, jika seorang tukang perahu membersihkan pekarangan orang karena takut rumahnya menjadi tempat berkembang biak nyamuk atau hewan berbahaya. Untuk menghindari masalah dan perselisihan hukum, yang terbaik adalah mendapatkan izin dari operator feri atau perusahaan sebelum mengambil tindakan tersebut. Selain itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemeliharaan kebersihan dan keindahan lingkungan. Misalnya, peraturan daerah (Perda) atau peraturan negara (PP) tentang penyehatan lingkungan dan tata kota. Aturan ini mewajibkan setiap warga negara untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menghindari tindakan yang dapat merusak lingkungan. Namun, dalam kasus ini, tindakan Ferry tidak bisa dianggap merusak lingkungan, melainkan pelanggaran terhadap hak milik Ferman. Jadi yang terbaik adalah mendapatkan izin dari pemilik sebelum Ferry melakukan sesuatu terhadap rumah tersebut. Dalam konteks ini, Ferry juga dapat mempertimbangkan rumah kosong dan tidak terawat kepada pihak berwenang, seperti pihak berwenang setempat atau polisi, untuk menghindari masalah hukum dan untuk memastikan keamanan keselamatan dan kesehatan lingkungan.
Intisari Pelanggaran Taklik Talak Menurut Khi
Dalam hukum perdata, hubungan antara Ferry dan Fairman dapat diatur oleh undang-undang, perjanjian atau konvensi.
Jika Ferry membersihkan rumah Firman tanpa izin terlebih dahulu, maka dapat dianggap sebagai tindakan sukarela atau bantuan yang diberikan oleh Ferry.
Menurut UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup yang sehat dan lestari.

Oleh karena itu, jika seorang tukang perahu membersihkan kebun seseorang yang penuh dengan rumput liar, ia dapat dianggap sebagai warga yang bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
Edukasi Hukum: Hukum Pidana
Sedangkan menurut kekuatannya, status ini dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku, yaitu menurut hukum yang secara aktif mengatur hak dan kewajiban individu dalam masyarakat.
Dalam hal ini Feri sebagai salah satu anggota masyarakat dapat mengambil langkah-langkah untuk membersihkan lingkungan keluarga Firman yang terlantar agar lingkungan selalu bersih dan sehat.
Penjatuhan hukuman juga harus memperhatikan hak
Pasal 385: Mengenai Tindak Pidana Penganiayaan dalam Hukum Indonesia
Pengertian dan Konteks Hukum Pasal 385
Pasal 385 yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia, lebih spesifiknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mengatur tentang tindak pidana penganiayaan. Penganiayaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja untuk menyakiti atau merugikan orang lain secara fisik maupun mental. Dalam pasal ini, penganiayaan dianggap sebagai tindak pidana yang melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana.
Isi dari Pasal 385 menjelaskan tentang perbuatan penganiayaan secara lengkap, mencakup unsur-unsur yang harus ada agar perbuatan tersebut dapat dipidanakan. Salah satu unsur yang harus terpenuhi adalah adanya niat atau kesengajaan dari pelaku untuk menyakiti atau merugikan orang lain tanpa adanya alasan yang sah.
Unsur-Unsur dalam Pasal 385 KUHP
Terdapat beberapa unsur dalam Pasal 385 KUHP yang harus terpenuhi agar perbuatan penganiayaan dapat dianggap melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana. Unsur-unsur tersebut adalah:
- Terdakwa memiliki niat atau kesengajaan untuk menyakiti atau merugikan orang lain.
- Tindakan penganiayaan dilakukan secara fisik atau mental.
- Perbuatan penganiayaan dilakukan tanpa alasan yang sah.
- Korban merasakan sakit fisik atau mental akibat tindakan penganiayaan tersebut.
Jika terdakwa terbukti melakukan penganiayaan yang memenuhi semua unsur-unsur tersebut, maka dia dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dampak Pelanggaran Pasal 385 KUHP
Sanksi Pidana bagi Pelaku Penganiayaan
Dalam Pasal 385 KUHP, terdapat ketentuan mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan. Sanksi pidana yang mungkin dikenakan adalah hukuman penjara dan/atau denda, tergantung pada tingkat keparahan tindak penganiayaan yang dilakukan.
Adapun rentang sanksi pidana yang mungkin diberikan mulai dari beberapa bulan hingga beberapa tahun penjara, tergantung pada tingkat keparahan perbuatan penganiayaan dan faktor-faktor lain yang dianggap relevan oleh pengadilan.
Konsekuensi Hukum bagi Pihak yang Melanggar Pasal 385
Bagi pihak yang terbukti melanggar Pasal 385 KUHP, selain sanksi pidana yang mungkin dikenakan, terdapat juga konsekuensi hukum lain yang dapat diterapkan. Misalnya, pihak yang menjadi korban penganiayaan dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan upaya perlindungan hukum dan pemulihan kerugian akibat perbuatan tersebut.
Di samping itu, pihak korban juga memiliki hak untuk melaporkan kejadian penganiayaan kepada pihak berwajib, misalnya kepolisian, untuk proses penyidikan dan penuntutan lebih lanjut. Melalui proses hukum yang berlangsung, diharapkan pelaku penganiayaan dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan menerima sanksi yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tabel: Pasal 385 KUHP Mengenai Tindak Pidana Penganiayaan
No. |
Unsur-unsur |
Sanksi Pidana |
1 |
Niat atau kesengajaan untuk menyakiti atau merugikan orang lain. |
Hukuman penjara sampai dengan 2 tahun atau denda. |
2 |
Penganiayaan dilakukan secara fisik atau mental. |
Hukuman penjara sampai dengan 5 tahun atau denda. |
3 |
Penganiayaan dilakukan tanpa alasan yang sah. |
Hukuman penjara sampai dengan 7 tahun atau denda. |
4 |
Korban merasakan sakit fisik atau mental akibat penganiayaan. |
Hukuman penjara sampai dengan 10 tahun atau denda. |
FAQ: Pertanyaan Umum tentang Pasal 385
1. Apa yang dimaksud dengan Pasal 385 dalam hukum Indonesia?
Pasal 385 dalam hukum Indonesia mengatur tentang tindak pidana penganiayaan dan menjelaskan unsur-unsur serta sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku.
2. Apa sanksi pidana yang dapat dikenakan jika melanggar Pasal 385?
Sesuai dengan Pasal 385 KUHP, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan adalah hukuman penjara dengan rentang waktu mulai dari beberapa bulan hingga beberapa tahun, atau denda. Tingkat keparahan perbuatan penganiayaan dan faktor-faktor lain akan menjadi pertimbangan dalam menentukan sanksi yang lebih tepat.
3. Apakah korban penganiayaan dapat mengajukan gugatan perdata?
Tentu saja. Korban penganiayaan memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata guna memperoleh upaya perlindungan hukum dan pemulihan kerugian akibat perbuatan penganiayaan yang dialaminya.
4. Bagaimana cara melaporkan kasus penganiayaan kepada pihak berwajib?
Untuk melaporkan kasus penganiayaan kepada pihak berwajib, seperti kepolisian, korban atau pihak yang mengetahui kejadian tersebut dapat membuat laporan resmi untuk memulai proses penyidikan dan penuntutan lebih lanjut.
5. Apakah pelaku penganiayaan dapat dihukum dengan sanksi pidana yang pantas?
Tentu saja. Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pelaku penganiayaan dapat dihukum sesuai dengan Pasal 385 KUHP. Melalui proses hukum yang adil, pelaku akan bertanggung jawab atas perbuatannya dan menerima sanksi pidana yang pantas.
6. Apakah perbuatan penganiayaan yang dilakukan dengan alasan yang sah juga melanggar Pasal 385?
Tidak, Pasal 385 hanya mengatur penganiayaan yang dilakukan tanpa alasan yang sah. Jika penganiayaan dilakukan dengan alasan yang sah, perbuatan tersebut tidak melanggar Pasal 385.
7. Berapa lama hukuman penjara maksimum yang dapat diberikan sesuai dengan Pasal 385?
Menurut Pasal 385 KUHP, hukuman penjara maksimum yang dapat diberikan kepada pelaku penganiayaan adalah 10 tahun.
8. Apakah sanksi pidana Pasal 385 dapat diberikan bersamaan dengan sanksi pidana lainnya?
Ya, sanksi pidana Pasal 385 dapat diberikan secara bersamaan dengan sanksi pidana lainnya jika terdapat perbuatan lain yang dilakukan oleh terdakwa yang melanggar ketentuan hukum.
9. Apakah Pelaku penganiayaan yang masih di bawah umur dapat dihukum sesuai dengan Pasal 385?
Pelaku penganiayaan yang masih di bawah umur tetap dapat dihukum sesuai dengan Pasal 385 asalkan sudah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti batas usia minimal untuk dapat diproses secara pidana.
10. Apakah korban penganiayaan dapat mendapatkan perlindungan saksi?
Tentu saja, korban penganiayaan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan saksi. Perlindungan ini bertujuan untuk melindungi keselamatan dan keamanan korban selama proses penanganan hukum dan menjaga kerahasiaan identitas mereka.
Kesimpulan
Terima kasih telah membaca artikel yang membahas Pasal 385 dalam konteks tindak pidana penganiayaan dalam hukum Indonesia. Artikel ini menjelaskan mengenai pengertian dan unsur-unsur dalam Pasal 385, sanksi pidana bagi pelaku penganiayaan, konsekuensi hukum bagi pelanggar Pasal 385, serta menjawab beberapa pertanyaan umum seputar Pasal 385. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut atau ingin mengakses informasi yang sejenis, kunjungi situs kami. Sampai jumpa!
Untuk memahami lebih lanjut tentang pasal 24C, Anda perlu membaca artikel ini.