Pasal
Pasal 20 Ayat 1: Penjelasan Dan Maknanya Dalam Konstitusi
Pasal 20 Ayat 1: Penjelasan Dan Maknanya Dalam Konstitusi – Kontrak adalah perjanjian yang mengikat antara satu pihak dengan pihak lain atau antara dua pihak atau lebih.[1] Kontrak tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang berasal dari KUH Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Di antara sekian banyak asas hukum perdata, setidaknya ada 4 (empat) asas pokok, yaitu asas mufakat, asas kebebasan berkontrak, asas mengikat sebagai hukum dan asas kepribadian.
Artinya setuju.[3] Dasar ini bersumber dari butir 1 Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang terikat. Menurut teori ini, perjanjian timbul dari kedua kontrak yang dibuat antara kedua belah pihak.[4] Artinya, sejak tercapainya kesepakatan tentang pokok-pokok perjanjian, maka segala hak dan kewajiban serta akibat hukum dari perjanjian itu mengikat para pihak.
Pasal 20 Ayat 1: Penjelasan Dan Maknanya Dalam Konstitusi
Selanjutnya, asas kebebasan berkontrak. Dasar kebebasan berkontrak dirangkum dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut:
Pelaksanaan Hak Asuh Anak: Perlu Pengadilan Atau Tidak
Kata āsemuaā dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang bebas mengatur. Secara historis, asas kebebasan berkontrak telah memberikan kebebasan kepada:[6]
Kebebasan untuk membentuk suatu kontrak tidak bersifat mutlak, tetapi ada batasan-batasan tertentu yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Para pihak masih memiliki batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu untuk melayani hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata juga memuat asas hukum mengikat. Yang dimaksud dengan frasa “berlaku sebagai undang-undang” dalam ketentuan ini secara umum tidak berarti bahwa perjanjian itu bersifat mengikat. Namun, perjanjian tersebut mengikat para pihak dan menjadikannya sah. Artinya setiap orang bebas membuat perjanjian apapun, tetapi para pihak yang membuatnya harus menaatinya sebagai undang-undang.[7]
Terakhir, prinsip keunikan. Asas ini berarti bahwa suatu kontrak hanya mengikat para pihak yang menandatanganinya.[8] Hal itu diatur dalam Pasal 1340 Ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Namun, ada pengecualian terhadap asas ini, terutama dalam Pasal 1316 KUH Perdata tentang kontrak jaminan dan dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa para pihak sekurang-kurangnya harus memperhatikan 4 (empat) prinsip dasar yang bersumber dari KUHPerdata ketika membuat kontrak. Keempat asas tersebut adalah asas kebulatan suara, asas kebebasan berkontrak, asas mengikat secara hukum dan asas individualitas. Asas-asas tersebut menjadi dasar dari segala kesepakatan yang dibuat dalam masyarakat dalam kehidupan sehari-hari Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 20 tahun 2001 amandemen. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Penghapusan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016:
āBarangsiapa melakukan perbuatan pengkayaan secara melawan hukum terhadap dirinya sendiri atau orang lain atau badan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional, diancam dengan pidana kurungan atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 4 tahun. tahun 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari pengertian tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu perbuatan melawan hukum, pengayaan dan kerugian negara. Ketiga unsur ini harus saling berkaitan dan dapat dibuktikan keberadaannya. Kategori tindak pidana korupsi dibagi menjadi 7 (tujuh) kategori yang disebutkan dalam pasal 2 pasal 12C Undang-Undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:
Anggaran Dasar Muhammadiyah
Pelaku tindak pidana korupsi ini berasal dari pejabat atau penyelenggara negara, aparat penegak hukum atau setiap orang yang merugikan keuangan negara. Setelah penangkapan para koruptor tersebut, para koruptor ini disidangkan oleh Pengadilan Tipikor, sebuah pengadilan khusus Mahkamah Agung.[3]
āBarangsiapa dengan sengaja merampas barang milik orang lain, seluruhnya atau sebagian, yang bukan miliknya karena pelanggaran, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling lama . . seratus rupiahā.
Penyelewengan ini merupakan kejahatan yang sangat mirip dengan pencurian, tetapi ketika penyelewengan itu terjadi, barang sudah berada di tangan pelaku tanpa melakukan kejahatan atau melanggar hukum.[4] Juga, siapa pun dapat melakukan pelanggaran ini selama barang tersebut tidak dikuasai secara melawan hukum oleh pelaku. Selama prosedur, pelaku akan dipertimbangkan di Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, dan Pengadilan Tinggi di Pengadilan Tinggi.[5]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penipuan terorganisir dalam pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh siapa saja, sedangkan penipuan terorganisir dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya dapat dilakukan oleh pejabat dalam jabatannya. Selain itu, korupsi terbagi menjadi 7 bentuk, dimana penyalahgunaan jabatan merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.Dalam hukum acara pidana terdapat konsep pemaksaan. Upaya pemaksaan adalah tindakan aparat penegak hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kebebasan pribadinya tanpa diganggu.[1] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (selanjutnya disebut KUHP), memuat beberapa jenis tindakan wajib seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dokumen. Penahanan paksa dibahas dalam artikel ini. Menurut Pasal 1 Nomor 20 KUHAP diatur bahwa:
Sifat Mustahil Bagi Allah Dan Penjelasan Lengkapnya
āPenangkapan adalah berupa pengekangan sementara kebebasan terdakwa dalam bentuk penyidikan atau peradilan dan/atau bukti yang cukup untuk keperluan putusan dalam hal itu dan sesuai dengan bentuk yang ditentukan dalam undang-undang iniā.
Tujuan penahanan secara tegas dijelaskan dalam Pasal 1 Nomor 20 KUHP, khusus untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Hal yang sama berlaku untuk kondisi penahanan yang disebutkan dalam Bagian 17 KUHAP:
Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa penangkapan dapat dilakukan terhadap tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan dakwaan tersebut didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.[2] Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 8 KUHP Tahun 1981, frasa ābukti permulaan yang cukupā harus diartikan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. 184 KUHAP dan dengan pemeriksaan kemungkinan tersangka. Menurut Pasal 184 Ayat 1 KUHAP disebutkan:
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ābukti permulaan yang cukupā dalam Pasal 17 KUHP berarti paling sedikit 2 (dua) alat bukti proses pidana dalam Pasal 184 ayat (1) KUHP. Dengan uraian di atas dan pemeriksaan kemungkinan tersangka. Selanjutnya, penafsiran Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa surat perintah penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar telah melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 16 KUHP, yang berwenang melakukan penangkapan adalah Penyidik āāatas perintah Penyidik, Penyidik āādan Pembantu Inspektur.
Pengertian Atau Definisi Korupsi
Selain itu, ada masa penahanan dalam Pasal 19 Ayat 1 KUHAP. Sesuai Pasal 19 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa penahanan dapat dilakukan paling lama 1 (satu) hari. Jika ditangkap setelah 1 (satu) hari, tersangka dibebaskan demi hukum karena melanggar hukum.[3]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan penahanan adalah untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau untuk kepentingan peradilan. Penangkapan dilakukan berdasarkan Pasal 17 KUHAP terhadap tersangka yang diduga keras melakukan kejahatan dan pengaduan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tidak dapat ditahan lebih dari satu hari.
[1] Utiarahman Andre Putra, Upaya Pemaksaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimin, Volume VIII – Nomor 10, Oktober 2020, halaman 24. Pidana seumur hidup digunakan dalam Pasal 12 Hukum Pidana Ayat (1) UUD RI ( selanjutnya KUHP) Hal ini sering menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Penjara seumur hidup adalah masalah umum. Ada yang mengatakan bahwa hukuman seumur hidup adalah seumur hidup narapidana sampai terpidana mati.
(2) Pidana penjara dengan waktu tertentu, paling singkat satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
Contoh Kasus Ti Wps Office
(3) dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun berturut-turut hakim dapat memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara jangka waktu tertentu; Demikian pula jangka waktu lima belas tahun dapat dilanggar karena ketentuan dalam Pasal 52 dan 52 Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Mengubah KUHP untuk seluruh Negara Republik Indonesia (L.N. 1958 No. 127)
Jelas bahwa KUHP (2) mengenal dua jenis pidana penjara yaitu pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara waktu tetap. Pasal 12 ayat 4 KUHP menetapkan bahwa pidana penjara untuk waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pengertian pidana seumur hidup harus diatur dalam ketentuan Pasal 12 KUHP dan selanjutnya harus ditafsirkan secara gramatikal. Jika pidana penjara seumur hidup dijatuhkan menurut umur terpidana, maka dapat dikatakan bahwa terpidana menjalani masa pidana tetap.[1] Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini, apabila seorang pelaku dipidana pada waktu berumur 30 (tiga puluh) tahun, maka yang bersangkutan akan menjalani pidana penjara selama 30 (tiga puluh) tahun. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan Pasal 12
