Pasal
Pasal 216 Kuhp: Mengenal Isi Dan Dampak Hukumnya
Pasal 216 Kuhp: Mengenal Isi Dan Dampak Hukumnya – Ada konsep wajib dalam KUHP. Tindakan paksaan adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh petugas hukum pidana terhadap kebebasan bergerak atau penguasaan dan penguasaan benda atau kebebasan pribadi untuk tidak diganggu.[1] Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 (selanjutnya disebut BPK) mengatur tentang berbagai macam upaya pemaksaan, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Dalam artikel ini upaya pemaksaan yang akan dibahas adalah penahanan. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 20 KUHP ditetapkan bahwa:
āPenangkapan adalah tindakan penyidik āādengan mengurangi sementara waktu kehendak tersangka, dengan adanya bukti yang cukup untuk menyelidiki atau menuntut atau mengadili terdakwa dan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.ā
Pasal 216 Kuhp: Mengenal Isi Dan Dampak Hukumnya
Tujuan penahanan secara jelas dinyatakan dalam Pasal 20 Angka 1 KUHP, yaitu untuk penyidikan atau persidangan dan/atau persidangan. Selain itu, mengenai situasi penahanan diatur dalam Pasal 17 KUHAP yang berbunyi:
Draft Rkuhp: Penjelasan
Menurut pasal tersebut, penangkapan dapat dilakukan terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana, dan pernyataan ini didasarkan pada bukti prima facie yang cukup. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pengertian āalat bukti primer yang cukupā harus diartikan sekurang-kurangnya 2 (dua) dengan alat bukti yang dimuat dalam Pasal 184 KUHP dan penyidikan terhadap tersangka. Berdasarkan Bab 1 Pasal 184 KUHAP ditetapkan bahwa:
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ābukti permulaan yang cukupā dalam Pasal 17 KUHP berarti sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dalam Pasal 184(1) KUHP sebagaimana diuraikan di atas. dan dengan ringkasan calon tersangka. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 17 KUHP disebutkan bahwa surat perintah penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 16 KUHAP, yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik āāatas perintah penyidik, penyidik, dan penyidik āāpembantu.
Selanjutnya, masa penahanan diatur dalam Pasal 19 Ayat 1 KUHAP. Berdasarkan bagian 1 Pasal 19 KUHAP, penangkapan dapat dilakukan sebelum 1 (satu) hari. Apabila penangkapan dilakukan setelah 1 (satu) hari, maka terjadi pelanggaran hukum yang menjadi penyebab penangkapan tersangka menurut undang-undang[3].
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa tujuan penangkapan adalah penyidikan atau pengadilan atau peradilan. Penangkapan harus dilakukan berdasarkan Pasal 17 KUHP, yaitu dilakukan terhadap tersangka yang patut diduga melakukan tindak pidana dan tuntutannya didasarkan pada bukti prima facie yang cukup. Penangkapan juga tidak bisa berlangsung lebih dari satu hari.
Pembelaan Paksa Dalam Hukum Pidana
[1] Utiarahman Andre Putra, Upaya Penegakan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lex Crimen, VIII. Volume – Nomor 10, Oktober 2020, Halaman 24. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat seringkali menjadi korban kejahatan berupa kejahatan yang dilakukan. oleh orang lain. Ketika seseorang merasa terancam oleh potensi kejahatan, orang tersebut secara alami akan berusaha melindungi dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk menghukum orang karena mencoba membela diri? Bagaimana hukum darurat militer di Indonesia?
KUHP (selanjutnya disebut KUHP) mengatur pembelaan paksa. Bagian 1 Pasal 49 KUHP menyatakan:
āBarangsiapa harus mengambil tindakan perlindungan karena serangan atau ancaman serangan, melawan hukum, terhadap dirinya sendiri atau orang lain; terhadap kehormatan, kesusilaan (eerbaarheid) atau harta miliknya atau harta orang lain, tidak akan dihukum.’
Berdasarkan pasal ini, jika seseorang menerima ancaman penyerangan, pemukulan, atau tindakan kriminal yang salah dari orang lain, orang tersebut dapat dianggap dibenarkan untuk membela diri terhadap tindakan tersebut. Hal ini dibenarkan meskipun dilakukan dengan cara yang merugikan kepentingan sah penyerang, karena dalam keadaan normal cara ini merupakan perbuatan yang dilarang ketika pelaku menghadapi hukuman[1].
Penadahan Dalam Hukum Pidana
Ada berbagai pendapat yang menjelaskan alasan pembelaan diri bagi mereka yang merasa terancam dengan ancaman penyerangan atau penyerangan tidak dapat dihukum dan dijadikan alasan. Salah satu pendapat yang paling terkenal dikeluarkan oleh van Hamel, seorang ahli hukum pidana. Menurut Van Hamel, pembelaan diri adalah hak, sehingga orang yang menggunakan hak tersebut tidak dapat dihukum. Dalam praktiknya, badan peradilan dunia dan ilmu bela diri atau
Seperti hak untuk menangani hal-hal ilegal. Tindakan pembelaan yang diperlukan ini dianggap sah menurut undang-undang, karena merupakan hak untuk melakukan pembelaan yang diperlukan[2].
Selain itu, muncul pertanyaan: pembelaan yang diperlukan seperti apa yang bisa menjadi pembenaran untuk melakukan kejahatan. Menurut Van Hamel, pembelaan diri dapat dibenarkan jika ancaman serangan atau serangan yang diakibatkannya adalah ilegal atau kriminal.
, serangan atau ancaman serangan sedang dilakukan dan/atau sedang dilakukan, serangan tersebut merupakan ancaman yang akan segera terjadi, dan serangan tersebut menimbulkan ancaman terhadap tubuh, kehormatan, atau harta benda orang lain. Selain itu, pembelaan yang dilakukan juga harus nyaman dan perlu untuk membenarkan pembelaan [3].
Mengenal Asas Teritorial Dalam Hukum Pidana
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHP memberikan perlindungan hukum untuk pembelaan diri oleh seseorang yang menjadi korban kejahatan. Pembelaan diri dianggap impunitas, karena merupakan hak setiap orang untuk melawan tindakan ilegal. Namun, tidak semua pembelaan diri dikecualikan dari penuntutan. Van Hamel mengatakan bahwa bela diri harus memenuhi beberapa unsur, termasuk serangan dan pertahanan, agar dapat dibenarkan. Oleh karena itu, peraturan teknis tersebut menjadi pedoman KUHP ke depan bagi aparat penegak hukum.
JAKARTA, – Pakar hukum pidana harus fokus mempelajari pasal-pasal baru KUHP dalam tiga tahun ke depan. Khususnya untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil terhadap pasal tersebut, apakah harus dilakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi atau harus dimintakan langkah-langkah lain.
Padahal, selain progres buku pertama KUHP, produk legislasi yang baru saja disepakati dengan pemerintah dan DPR dan dilaksanakan pada 6 Desember ini memiliki banyak persoalan. . Dengan mengacu pada Pasal 624 KUHP Ukraina, undang-undang ini akan diberlakukan tiga tahun setelah diterbitkan. Penerbitan dilakukan setelah adanya pengesahan RKUKHP oleh Presiden.
Milda Isticoma, Ketua Fakultas Hukum Universitas Bravijay, mengatakan ada hal yang baik dalam KUHP yang baru, terutama pada buku pertama yaitu tata cara pemidanaan, yang mengatur tentang faktor-faktor yang dapat digunakan oleh hakim. . kalimat. Diharapkan dengan adanya pasal ini dapat memecahkan masalah ketidakkonsistenan putusan yang selama ini menjadi permasalahan di pengadilan karena beragamnya putusan. KUHP lama mengatur hukuman minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun.
Pidana Penjara Seumur Hidup: Penjara Seumur Terpidana Saat Divonis Atau Penjara Sampai Meninggal?
“Tidak harus seperti itu. Dengan pedoman hukuman yang ditetapkan, itu sebenarnya cukup bagus. Saya berharap dengan adanya pasal progresif ini dapat membantu menyelesaikan berbagai komplikasi dan permasalahan sistem peradilan pidana,ā ujar Milda saat dihubungi, Senin (12/12/2022).
Suasana rapat paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan Rancangan KUHP (RCKUP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022).
Namun, menurut dia, KUHP yang baru juga memuat pasal-pasal yang mengkriminalkan orang yang tidak bermasalah atau tidak berniat melakukan kejahatan. Pasal-pasal yang berpotensi dan dikhawatirkan menjadi barang karet adalah menghina Presiden/Wakil Presiden, menipu, berpacaran, melarang penyebaran paham marxisme atau paham lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Direktur Program Kerjasama Assegaf Rifqi Sjarief sependapat dengan Milda bahwa KUHP yang baru memberikan pedoman hukuman yang lebih jelas bagi hakim. Ada aturan tentang masalah yang harus dipertimbangkan hakim ketika mempertimbangkan beratnya hukuman.
Pdf) Kebijakan Pasal Pasal Kontroversial Dalam Ruu Kuhp Ditinjau Dari Perspektif Dinamika Sosial Kultur Masyarakat Indonesia
āMasalahnya memang di teknologinya. Padahal pedomannya sudah bagus, saya masih melihat ada potensi misinterpretasi. Bisa diinterpretasikan aneh-aneh,ā katanya.
Rifki yang telah menganalisis lebih dari 1.000 putusan pengadilan terkadang menemukan kejanggalan dalam putusan hakim. Misalnya terkait dengan usia pelaku, yang menjadi pertimbangan hakim saat mengambil keputusan. Pada suatu kesempatan, hakim menyadari bahwa dia terlalu meremehkan terdakwa yang berusia 40 tahun, karena dia masih muda.
Ada hal lain yang berkaitan dengan pertimbangan hakim, misalnya terdakwa adalah kepala keluarga yang menanggung beban keuangan. āBetul. Namun dalam praktiknya, faktor ini digunakan dalam kasus korupsi. Padahal, dalam kasus pencurian, jarang ditemukan pencuri yang mendapat diskon karena alasan ini. Jadi yang baik secara normatif adalah. selalu dalam praktek,ā katanya. Anda.
Milda juga prihatin dengan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati. Ketentuan ini menjamin agar terpidana mati tidak segera dieksekusi. Ada 10 tahun untuk memahami perilaku selama eksekusi hukuman. Namun, Milda menyayangkan kriteria perilaku baik yang tidak spesifik.
Kartul Unras Anarkis
āPerbuatan baik apa? Kalau kita duduk di kamar dan tidak melakukan apa-apa, kita akan diperlakukan dengan baik dan hukuman mati akan diubah menjadi seumur hidup,ā kata Milda.
Terkait hal tersebut, menurut Rifki, perlu ada aturan teknis yang menjadi pedoman pelaksanaan berbagai ketentuan KUHP yang baru. Misalnya, agar hakim Mahkamah Agung mengusulkan untuk membuat aturan yang lebih khusus untuk memulihkan hal-hal yang tidak tercakup dalam ketentuan baru KUHP. Aturan tersebut dapat dirumuskan oleh seorang Hakim Agung di Divisi Pidana MA.
