Pasal
Pasal 264 Kuhp: Mengurai Isi Dan Dampak Hukumnya
Pasal 264 Kuhp: Mengurai Isi Dan Dampak Hukumnya – Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering menjadi korban kejahatan berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika seseorang merasa terancam oleh kejahatan yang mungkin menimpanya, orang tersebut harus berusaha membela diri. Bisakah seseorang dihukum karena upaya pembelaan paksa? Bagaimana sistem hukum di Indonesia tentang pembelaan diri secara paksa?
KUHP Indonesia (selanjutnya disebut KUHP) mengatur tentang pembelaan paksaan. Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi:
Pasal 264 Kuhp: Mengurai Isi Dan Dampak Hukumnya
āBarangsiapa terpaksa mengambil tindakan dalam pembelaan yang diperlukan, karena pada waktu penyerangan atau ancaman penyerangan, dia melawan hukum, melawan dirinya sendiri atau melawan orang lain; Itu tidak boleh dihukum terhadap kesusilaan (eerbaarheid) atau terhadap harta milik seseorang atau kehormatan orang lainā.
Pdf) Pengelolaan Arsip Dinamis Inaktif Perkara Pidana (studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33478/1/skripsi… Ā· Kronologi, Selain Itu Azas Penyimpanan Yang Digunakan
Berdasarkan pasal ini, jika seseorang diserang, dianiaya atau diancam dengan tindakan pidana yang tidak sah oleh orang lain, maka orang tersebut berhak untuk membela diri terhadap tindakan tersebut. Hal tersebut dibenarkan meskipun dilakukan dengan cara yang merugikan kepentingan hukum pelaku penyerangan, yang dalam keadaan normal merupakan perbuatan yang dilarang dimana pelakunya diancam dengan hukuman.[1]
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengapa pembelaan diri seseorang yang merasa terancam serangan atau ancaman serangan tidak dapat dipidana dan dijadikan pembenaran. Salah satu pendapat yang paling terkenal diberikan oleh Van Hamel, seorang ahli hukum pidana. Menurut Van Hamel, pembelaan diri adalah hak, sehingga individu yang menggunakan hak tersebut tidak dapat dihukum. Bahkan, dunia fikih dan ilmu membela atau mempertimbangkan
Sebagai hak untuk menentang hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Tindakan pembelaan diri tersebut dianggap sah menurut undang-undang karena pembelaan diri merupakan hak orang yang melakukannya.
Selain itu, muncul pertanyaan apakah segala bentuk pembelaan yang diperlukan dapat membenarkan tindakan kriminal. Menurut Van Hamel, pembelaan diri dapat dibenarkan jika penyerangan atau ancaman penyerangan bersifat ilegal atau kriminal.
Rkuhp Ancam Demokrasi
, serangan atau ancaman serangan yang sedang berlangsung dan/atau masih berlangsung, serangan yang diterima merupakan ancaman bahaya secara langsung dan serangan yang diterima berbahaya bagi badan, kehormatan atau harta benda atau orang lain. Selain itu, pembelaan harus memadai dan perlu, agar pembelaan dapat dibenarkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan pembelaan diri yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban kejahatan. Pembelaan diri dianggap impunitas karena merupakan hak setiap orang untuk melawan tindakan yang melawan hukum. Namun, tidak semua kasus pembelaan diri dapat dikesampingkan. Pembelaan diri harus memenuhi unsur-unsur tertentu yang dijelaskan oleh Van Hamel, termasuk pelanggaran dan pertahanan, agar dapat dibenarkan. Hal itu tampak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuatnya. Pasal 48 KUHP mengatur sebagai berikut:
Pasal 48 KUHP mengatur tentang kekuatan paksaan yang mengacu pada konsep kekuatan paksaan dalam hukum pidana.
Jika kita melihat rancangan Pasal 48 KUHP, kita akan memahami bahwa pemaksaan merupakan salah satu alasan penghapusan pidana. Namun, pemaksaan belum tentu menjadi dasar pengusiran suatu tindak pidana. Hal ini karena ada batasan-batasan tertentu yang harus dipenuhi agar pemaksaan dapat dianggap sebagai alasan pemidanaan. Sedangkan kekuatan koersif yang dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan suatu putusan adalah kekuatan koersif yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, seperti kekuatan yang pada umumnya tidak dapat dilawan. Sehubungan dengan kewenangan yang lebih besar tersebut, maka kekuatan paksaan dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:[5]
Kuhp Yang Tak Kunjung Selesai
Dalam situasi seperti itu, pelaku tidak dapat melakukan apa pun selain tindakan paksaan terhadapnya. Artinya, pelaku melakukan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Menurut Andi Hamzah, bisa juga disebut kekuasaan koersif atau kunci mutlak
Bukan kekuatan koersif yang sebenarnya. Ini bisa dimengerti karena dengan paksaan yang sempurna orang tersebut tidak benar-benar melakukan kejahatan. Jika dalam tindak pidana tersebut ada unsur paksaan mutlak, tidak perlu diterapkan Pasal 48 KUHP, contohnya adalah orang yang melakukan tindak pidana, tetapi merupakan āalatā.
Pemaksaan, yang sifatnya relatif, berarti seseorang mendapatkan akibat yang tidak mutlak, tetapi meskipun orang tersebut dapat melakukan tindakan lain, mereka tidak dapat diharapkan untuk melakukan tindakan lain untuk menghadapi situasi yang serupa. Artinya, individu tetap memiliki kesempatan untuk memilih tindakan mana yang ingin dilakukannya walaupun pilihannya dipengaruhi oleh paksaan. Jadi sepertinya ada perbedaan dengan paksaan mutlak. Dalam kasus paksaan mutlak, segala sesuatu dilakukan oleh orang yang terpaksa melakukannya, sedangkan dalam kasus paksaan relatif, tindakan tetap dilakukan oleh orang yang terpaksa melakukannya karena pilihan.
[10] Pada tanggal 15 Oktober 1923, keadaan darurat diberlakukan berdasarkan keputusan Hoge Rudd, yang disebut Penangkapan Ahli Kacamata. Berdasarkan putusan tersebut, Hoge Raad membagi keadaan darurat menjadi 3 (tiga) kemungkinan, yaitu konflik antara 2 (dua) kepentingan hukum, konflik antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum dan konflik antara 2 (dua) kewajiban hukum. konflik [12] Pada dasarnya jika berbicara tentang keharusan, maka dipahami bahwa karena terpaksa suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang atas pilihannya sendiri.
Menggugat Pasal Pasal Pencemaran Nama Baik By Tifa Foundation
