Connect with us

Pasal

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya – Dalam hukum pidana dikenal istilah laporan dan dakwaan, keduanya merupakan laporan kejahatan terhadap penguasa. Meskipun keduanya merupakan deklarasi, ada perbedaan hukum antara kedua istilah tersebut. Perbedaan-perbedaan terkait dengan pelapor, konten dan jenis kejahatan akan dibahas dalam artikel ini.

Menurut Pasal 1, Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peraturan Peradilan Pidana (selanjutnya disebut Peraturan Peradilan Pidana), dikatakan sebagai berikut:

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

ā€œLaporan adalah keterangan yang disampaikan seseorang kepada pejabat yang berwenang mengenai suatu tindak pidana yang telah dilakukan atau diduga atau patut diduga dilakukan sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditetapkan dengan undang-undang.ā€

Pdf) Pertanggungjawaban Pidana Pada Penyalahgunaan Data Pribadi

Menurut pasal ini, setiap orang dapat melaporkan suatu kejahatan dengan sukarela atau karena kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang. Isi laporan berkaitan dengan tindak pidana yang disaksikan, diketahui atau dialami sebagai korban. Pasal 25 Pasal 1 KUHP berbunyi sebagai berikut:

“Pengaduan adalah perselisihan dengan keberatan pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk bertindak sesuai dengan hukum orang yang kepadanya pengaduan pidana diajukan.”

Pengaduan diajukan oleh seseorang yang merasa bahwa hak hukumnya diambil atau dilanggar oleh orang lain. Alhasil, korban bisa menginformasikan kepada pelaku, dalam hal ini polisi.

Tindak pidana yang diuraikan dalam laporan tersebut merupakan tindak pidana yang tergolong tindak pidana biasa. Orang yang dapat mengadukan dalam laporan itu adalah orang yang menderita atau menderita suatu tindak pidana karena suatu hak atau kewajiban. [5] Jika seseorang melaporkan kejahatan kepada polisi, laporan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Pada saat yang sama, pengaduan tersebut mencakup pemberitahuan pelanggaran dan permintaan tindakan terhadap pelaku. Objek pengaduan adalah kejahatan yang didefinisikan sebagai kejahatan. Para pihak yang berhak mengajukan pengaduan adalah korban tindak pidana dan kuasa hukum korban, atau pengaduan orang-orang tertentu, seperti orang tua korban, pengacara dan wali. [8] Berbeda dengan laporan, pengaduan dapat ditarik kembali selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan.

Perbedaan Laporan Dan Aduan Dalam Hukum Pidana

Seperti yang dijelaskan R. Tresna dalam bukunya ā€œAsas-asas Hukum Pidana dengan Pembahasan Banyak Tindak Pidanaā€, wartawan (

Contoh tindak pidana umum adalah tindak pidana pencurian menurut Pasal 362 KUHP (selanjutnya – KUHP).

“Barangsiapa secara melawan hukum memperoleh properti atau bagian dari orang lain, akan dihukum penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari lima tahun, atau denda tidak lebih dari sembilan ratus dolar.”

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

Menurut Pasal 362 KUHP, tidak ada pengaduan yang dapat diajukan ke pengadilan atas kejahatan pencurian. Dalam hal itu dapat diberhentikan sebagai contoh tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 367 KUHP.

A Hukum Pidana

Maka pabrikan atau perangkat tidak dapat dituntut atas kerusakan.

. Penuntutan hanya dapat dilakukan jika terdakwa mengajukan pengaduan pidana.

. (K.U.H.P. 55 hal., 72 hal., 99, 370, 376, 394, 404, 141).

Menurut ketentuan pasal 2 pasal 367 hukum pidana, perbuatan terorisme bersifat pengaduan dan hanya dapat dinilai berdasarkan pengaduan. Oleh karena itu, tanpa pengaduan, tindakan terorisme tidak dapat dituntut di pengadilan.

Soal Asas Hukum Pidana

Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa laporan dan pengaduan ditujukan kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepada pihak kepolisian. Namun, ada perbedaan dalam hal badan hukum mana yang dapat melaporkan atau mengadu. Ada juga perbedaan dalam hal sifat dan tindakan informasi dan terdakwa, ahli hukum pidana mengakui dua alasan penghapusan kejahatan, yang menunjukkan alasan dan alasan pengampunan. Pertama, pembebasan mengacu pada alasan yang menghilangkan rasa bersalah. Oleh karena itu, dari segi ketelitian, tampak pada sisi dalam tindakan (tujuan). Pasal 48 (darurat), Pasal 49 ayat 1 (perlindungan eksekusi), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 ayat 1 (undang-undang perpajakan) tentang ā€œundang-undang yang menghukum kejahatan adalah sahā€. Kedua, menghilangkan dalih pelaku kejahatan padahal perbuatannya masih melawan hukum. Dasar amnesti dalam KUHP adalah pasal 44 (tidak memenuhi tanggung jawab), pasal 49 ayat 2 (melampaui batas perlindungan dengan kekerasan atau paksaan) dan pasal 51 ayat 2 (perjanjian dengan itikad baik adalah perbuatan melawan hukum). .

Mengenai kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 44 KUHP, yaitu: (poin 1) orang yang melakukan perbuatan, yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena cacat mental atau penyakit mental, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan tersebut; . waktu tahun sebagai masa percobaan.

Dari definisi 1 dan 2 pasal 44 di atas dapat kita tegaskan bahwa jika seseorang dapat memahami nilai perbuatannya, jika dia dapat memahami nilai perbuatannya, jika dia memiliki kemauan. dan jika ia dapat mengendalikan kehendaknya, maka orang itu dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya (Darmabrata, 2003: 89).

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

Diperlukan seorang psikiater dan kesaksiannya diperlukan untuk menentukan apakah praktisi/psikiater tersebut memiliki penyakit mental atau tidak. Di pengadilan, kesaksian psikiater (Visum et Repertum Psychiarticum) diperlukan sebagai bukti yang secara jelas menunjukkan keadaan mental terdakwa dan kemampuan untuk bertanggung jawab.

Perbandingan Kuhp Dengan Rkuhp

Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP) adalah dokumen tertulis yang memuat keterangan tentang keadaan jiwa terdakwa/didiagnosis oleh dokter. Menurut Darmabrata (2003: 36), yang dilakukan dokter dalam menyusun VeRP adalah berusaha membantu dokter forensik untuk menentukan apakah ada penyakit jiwa dan apakah ada hubungan antara penyakit jiwa dengan perilaku yang ditimbulkannya. hukum.. apa yang terjadi dan bagaimana kapasitas tanggung jawab dikendalikan. VerP sendiri dibangun berdasarkan permintaan. Penyidik, penuntut umum, hakim pengadilan, tersangka atau terdakwa (melalui instansi yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan), korban (melalui instansi yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan) dan penasehat hukum melalui instansi yang berwenang berhak mengajukan VerP. tergantung pada tingkat pemeriksaan.

Bahkan, kasus VeRP yang paling banyak terjadi adalah kasus kriminal. Namun, ada juga kasus perdata yang memerlukan VerRP, seperti:

Dalam contoh di atas, terdakwa/terdakwa tidak dapat dituntut karena terdakwa/terdakwa menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia dan sindrom paranoid. Akibatnya, hakim memutuskan bahwa penggugat harus dibebaskan dari penjara negara atau dari semua tuduhan terhadapnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang sakit, berubah pikiran dan memiliki masalah mental tidak dihukum. Menurut pasal 44 hukum pidana, jika seseorang sakit jiwa atau gila saat melakukan pekerjaan, tindakan ini tidak dapat dilakukan terhadapnya. dan tidak ada yang dihukum. atau pemaksaan merupakan istilah umum dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana Pasal 48 KUHP menyatakan:

Cara Merumuskan Tindak Pidana

Pasal 48 KUHP terkait dengan konsep pemaksaan dalam hukum pidana.

Menilik ketentuan pasal 48 hukum pidana, dapat dipahami bahwa pemaksaan merupakan salah satu alasan penangguhan pidana. Namun, penindasan bukanlah alasan untuk kehancuran. Karena ada batasan untuk mempertimbangkan penindasan sebagai alasan untuk hukuman. Sementara itu, kekuatan paksaan yang menyebabkan hukuman diperhitungkan adalah kekuatan paksaan yang lebih besar, yaitu kekuatan yang tidak dapat dikalahkan secara umum. Karena kekuatan yang kuat ini, maka kekuatan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: [5]

Dalam hal ini, pelaku tidak dapat melakukan apapun selain kerja paksa. Artinya, orang yang melakukan kejahatan telah melakukan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Menurut Andi Hamze, bisa disebut absolut atau tidak ada kekuatan sama sekali

Pasal 44 Kuhp: Membongkar Hukum Dan Konsekuensinya

Bukan dengan paksa. Tentu saja hal ini masuk akal, karena tentu saja manusia tidak pernah berbuat dosa. Oleh karena itu, jika ada pemaksaan dalam kejahatan, tidak perlu diterapkan Pasal 48 KUHP. Misalnya, orang yang melakukan kejahatan adalah ā€œinstrumenā€.

Alasan Penghapusan Pidana Alasan Pembenar

Penindasan relasional dapat dipahami bahwa seseorang memiliki konsekuensi yang tidak masuk akal, tetapi orang tersebut tidak diharapkan untuk melakukan sebaliknya dalam situasi yang sama, meskipun orang tersebut dapat melakukan sebaliknya. [8] Artinya, meskipun penindasan sangat memengaruhi pilihannya, dia masih memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, tampaknya ada perbedaan dalam kekuatan absolut. Dalam paksaan mutlak, segala sesuatu dilakukan oleh orang yang dipaksa, tetapi dalam paksaan relatif, tindakan ini dilakukan oleh orang yang terpaksa menurut pilihannya.

. [10] Keadaan darurat ditetapkan berdasarkan keputusan Hoge Raad tanggal 15 Oktober 1923.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

DISKLAIMER: Konten yang disajikan di situs ini bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas berbagai informasi hoaks yang beredar di internet. Kami tidak bertanggung jawab atas kebenaran atau kesalahan informasi yang diberikan oleh pihak lain.

Kami berusaha sebaik mungkin untuk memeriksa kebenaran setiap informasi sebelum disajikan, namun tidak dapat menjamin keakuratan dan kelengkapan informasi tersebut. Penggunaan informasi yang disajikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembaca. Kami juga tidak bertanggung jawab atas konsekuensi apapun yang terjadi akibat penggunaan informasi yang disajikan di situs ini.

Ā© 2023 AwasHoax!